Dari 1465+ perguruan
tinggi swasta di Indonesia, tentu saja tidak semuanya memenuhi kriteria minat,
biaya dan prospek yang sudah anda tentukan. Coret PTS yang tidak memiliki
program studi sesuai minat anda. Singkirkan PTS-PTS yang biaya kuliahnya
terlalu mahal bagi anda, atau terlalu jauh dari tempat tinggal anda sehingga
biaya untuk kuliah di sana akan terlalu tinggi. Dengan demikian daftar yang
anda miliki akan semakin pendek. Tetapi itupun mungkin masih cukup panjang
sehingga memerlukan pendalaman lebih jauh. Faktor apa lagi yang perlu dilihat
dari suatu perguruan tinggi untuk menentukan pilihan akhir anda?
Reputasi
Kalau saya harus memilih
salah satu PTS tanpa melihat faktor-faktor internal lainnya, pertimbangan utama
yang paling gampang saya gunakan adalah reputasi PTS tersebut. Reputasi di sini
berarti PTS yang bersangkutan secara umum dikenal sebagai PTS yang baik,
memiliki sarana belajar mengajar yang baik dengan fasilitas yang memadai.
Lulusannya pun tidak kesulitan dalam mencari pekerjaan. Bahkan ada lulusan PTS
yang menjadi rebutan perusahaan-perusahaan pemakainya.
Apakah tidak mungkin salah
jika memilih PTS ini? Harus kita ingat, reputasi tidak datang dalam sekejap.
Reputasi ini biasanya dibangun dengan kerja keras dan melalui proses yang
panjang. Bisa saya katakan bahwa anda berada on the safe side jika
memilih salah satu dari PTS-PTS ini. Bukan berarti lalu anda berhenti di sini
saja. Masih ada hal-hal lain yang harus anda cermati.
Status Akreditasi
Status akreditasi ini
adalah salah satu faktor yang paling sering digunakan oleh PTS untuk
mengiklankan dirinya. Tidak terlalu salah memang, karena hal itu menunjukkan
mutu/kemampuan PTS dalam menyelenggarakan suatu program studi. Status ini
didapat setelah diadakan penilaian tentang semua unsur yang diperlukan untuk
itu, termasuk fasilitas pendidikan, nisbah dosen tetap dan mahasiswa, kurikulum
pendidikan, dan banyak hal lainnya. Masalahnya, tidak semua orang memahami
dengan jelas tentang status ini, dan tampaknya banyak PTS yang menyadari dan
memanfaatkan ketidaktahuan tersebut.
Yang terutama adalah:
status akreditasi diberikan kepada program studi di suatu PTS dan bukan
kepada PTS yang bersangkutan. Jadi sebetulnya tidak ada istilah PTS yang
disamakan. Yang benar adalah (satu atau lebih) program studi di PTS tersebut
statusnya disamakan. Mungkin saja PTS tadi memiliki 3 program studi (misalnya
A, B, dan C), masing-masing dengan jenjang S1 dan D3. Kalau program studi A
jenjang D3 saja (satu dari enam) yang memperoleh status disamakan, apakah tepat
kalau PTS tersebut mengatakan statusnya disamakan?
Yang perlu anda ketahui
juga, status akreditasi ini menentukan kemandirian suatu program studi dalam
melaksanakan proses belajar mengajar, misalnya ujian negara atau penerbitan ijazah.
Suatu program studi (sekali lagi bukan PTS) yang sudah dinyatakan
terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) berhak
untuk menyelenggarakan sendiri semua kegiatannya. Artinya anda tidak lagi harus
mengikuti ujian negara yang dilaksanakan oleh Kopertis, dan ijazah yang anda
terima cukup disahkan oleh PTS tempat anda kuliah.
Sekali lagi, tanyakan
dengan jelas status akreditasi program studi yang anda pilih. Jangan percaya
begitu saja dengan klaim yang dikeluarkan oleh suatu PTS tentang statusnya.
(Uraian yang lebih rinci tentang hal ini dapat anda lihat pada topik Akreditasi).
Jalur dan Jenjang
Pendidikan
Berapa lama anda mau
menghabiskan waktu di bangku kuliah? Secepatnya? Berapa cepat? Selain
ditentukan oleh kemampuan anda, hal ini juga tergantung dari jalur/jenjang
pendidikan yang anda ambil. Pendidikan tinggi di Indonesia mengenal dua jalur
pendidikan, yaitu jalur akademik (jenjang sarjana) dan jalur profesional (jenjang
diploma). Jalur akademik menekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan, sedangkan
jalur profesional menekankan pada penerapan keahlian tertentu. (Untuk lebih
lengkapnya silakan lihat Struktur
Pendidikan Tinggi).
Dalam kaitannya dengan
waktu, jenjang sarjana membutuhkan waktu lebih lama (minimal 8 semester)
dibandingkan dengan jenjang diploma (2 semester untuk D1 - 6 semester untuk
D3). Hal ini tentu sangat berpengaruh pada biaya yang harus anda sediakan. Banyak
orang, yang karena keterbatasannya, lebih memilih jenjang diploma dengan
harapan cepat lulus dan mendapat pekerjaan.
Perlu anda ketahui,
jenjang diploma dirancang sebagai jenjang terminal. Artinya, lulusannya
dipersiapkan untuk langsung memasuki dunia kerja, bukan untuk melanjutkan
pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi (walaupun sekarang ada yang disebut
program lintas jalur, dari diploma ke sarjana). Ini berbeda dengan jenjang
sarjana, yang membuka kesempatan lulusannya untuk terus mengembangkan ilmunya.
Hal lain yang harus anda
perhatikan adalah tingkat persaingan di pasar kerja. Kalau banyak tenaga
sarjana yang tersedia, perusahaan akan lebih memprioritaskannya dibandingkan
lulusan diploma.
Gelar dan Sebutan
Sesudah anda lulus, anda
akan mendapat ijazah dan salah satu dari ini: gelar akademis atau sebutan
profesional. Yang pertama anda tentu tahu, Sarjana Ekonomi (SE), Sarjana Hukum
(SH), dan gelar lainnya. Gelar akademis ini diberikan kepada mereka yang
menyelesaikan pendidikan melalui jalur akademik (jenjang sarjana).
Lalu bagaimana kalau kita
menyelesaikan pendidikan jalur profesional (jenjang diploma)? Bukan gelar
akademis (Sarjana Muda, misalnya) yang kita dapatkan, melainkan sebutan
profesional seperti Ahli Madya Komputer (AMd Komp). Sebutan ini mungkin belum
terlalu memasyarakat, dan kadang-kadang dianggap kurang bergengsi. Banyak yang
masih menggunakan (dan lebih menyukai) istilah D3-Komputer. Anda yang
menentukan, gelar atau sebutan yang ingin anda tambahkan di belakang nama anda.
Fasilitas Pendidikan
Gedung megah dan ber-AC
saja tidak cukup untuk menjamin berlangsungnya proses belajar mengajar yang
baik. Bukan (hanya) itu yang dimaksud dengan fasilitas pendidikan. Fasilitas
seperti laboratorium (komputer, akuntansi, bahasa, dan lain-lain), bengkel,
studio dan perpustakaan sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan
mahasiswa. Mereka tidak hanya dituntut untuk menguasai wawasan keilmuannya
saja, tetapi juga bagaimana menerapkannya di lapangan. Apalagi untuk jalur
pendidikan profesional yang lebih bersifat aplikatif dan menekankan pada
ketrampilan.
Sekali lagi, jangan hanya
tampilan fisik yang anda perhatikan. Boleh saja PTS memasang foto-foto
gedungnya yang megah, laboratorium komputernya yang canggih. Tidak ada salahnya
anda coba menanyakan, kapan mahasiswa berkesempatan untuk menggunakan
fasilitas-fasilitas tersebut. Jangan-jangan hanya satu-dua kali per semester,
atau hanya untuk mahasiswa tingkat akhir saja. Perhitungkan juga jumlah
mahasiswa yang harus menggunakan fasilitas tersebut.
Kualitas dan Kuantitas
Dosen
Perkembangan suatu PTS
paling gampang dilihat dari jumlah mahasiswanya yang (selalu) bertambah. Ini
sangat penting bagi PTS, karena mahasiswa adalah sumber utama (seringkali
satu-satunya) pendapatan PTS. Dari merekalah PTS mencukupi kebutuhannya untuk
membiayai operasional pendidikan, membangun gedung, menambah fasilitas
pendidikan, termasuk membayar gaji dosen dan karyawannya. Oleh karena itulah
ada kecenderungan PTS untuk menggali sebanyak mungkin potensi ini, baik secara
kualitas (memperbesar uang gedung dan uang kuliah) maupun kuantitas (menerima
sebanyak mungkin mahasiswa).
Pada sisi lain,
bertambahnya mahasiswa menuntut ditambahnya jumlah dosen. Bukan hal yang mudah
mendapatkan dosen dengan jumlah yang memadai, apalagi yang memenuhi kualitas
yang dibutuhkan. Padahal Undang-Undang Pendidikan Tinggi mensyaratkan
tercapainya nisbah (rasio) antara dosen tetap dan mahasiswa sebesar 1:30 untuk
bidang studi IPS dan 1:25 untuk bidang studi IPA. Mungkin faktor dosen ini merupakan
salah satu faktor paling sulit bagi suatu PTS, dan karenanya sering diabaikan
atau direkayasa.
Pengabaian secara
kuantitatif dilakukan dengan membebani dosen yang terbatas jumlahnya dengan
beban mengajar yang besar, sehingga waktu dan tenaga dosen-dosen tersebut
betul-betul tersita untuk itu. Seringkali hal ini dilakukan dengan mengabaikan
aspek kualitas pengajarannya. Hampir tidak tersisa lagi waktu untuk melakukan
penelitian atau pengabdian masyarakat yang merupakan pilar-pilar Tri Dharma
Perguruan Tinggi.
Bisa juga suatu PTS
memenuhi aspek kuantitas dosen tetap ini, tetapi dengan mengkompromikan
kualitasnya. Misalnya dosen yang mengajar tidak sesuai dengan bidang ilmunya,
tidak terpenuhinya kepangkatan akademik dalam pengajaran atau bimbingan tugas
akhir, dan lain sebagainya.
Perekayasaan positif
terjadi dengan penggunaan dosen-dosen tidak tetap. Biasanya dosen tidak tetap
ini memenuhi persyaratan kelayakan mengajar, seperti latar belakang pendidikan,
gelar dan kepangkatan akademis dan profesionalismenya. Masalahnya, dosen-dosen
ini hanya menyediakan waktu yang terbatas kepada mahasiswa sesuai dengan status
tidak tetapnya. Bagi PTS, mereka tidak bisa disertakan dalam penghitungan
nisbah dosen tetap dan mahasiswa sehingga tidak berpengaruh dalam penentuan
status akreditasi.
Yang paling memprihatinkan
adalah jika terjadi perekayasaan negatif. Dalam hal ini PTS berusaha dengan
segala macam cara untuk memenuhi nisbah tersebut. Misalnya PTS masih
mencantumkan nama dosen yang sudah tidak lagi menjadi dosen tetap di sana, atau
nama seseorang tercantum sebagai dosen tetap di lebih dari satu PTS. Contoh
lain adalah dengan cara meminjam nama. Seseorang yang memenuhi kualifikasi
akademis "diangkat" sebagai dosen tetap dengan mendaftarkannya secara
resmi ke instansi yang berwenang. Artinya, secara administratif seluruh
persyaratan sudah dipenuhi dan "dosen" tersebut juga menerima gaji
dari PTS. Tetapi, keterlibatannya dalam kegiatan akademik hampir atau memang
tidak ada sama sekali.
Sebelum anda mendaftar, cobalah untuk mencari tahu jumlah dosen tetap
di PTS tersebut. Berapa orang yang bergelar S2, S3, dan mungkin ada yang sudah
bergelar profesor. Kualitas keilmuan anda sangat banyak ditentukan oleh mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Pendapatmu...