●
Etika orang Jepang : etika demi komunitas
Etika orang Jepang itu, tujuan utamanya membentuk hubungan baik di dalam
komunitas. Kebesaran komunitas bergantung pada situasi dan zaman. Negara, desa,
keluarga, perusahaan, pabrik, kantor, sekolah, partai, kelompok agama, tim
sepak bola dll, bentuknya apapun, orang Jepang mementingkan komunitas termasuk
diri sendiri. Sesudah Restorasi Meiji, pemerintah Meiji sangat menekankan
kesetiaan pada negara. Sesudah perang dunia kedua, objek kesetiaan orang Jepang
beralih pada perusahaan.
Tindakan pribadi dinilai oleh mendorong atau merusak rukun komunitas.
Maka misalnya minum minuman keras juga tidak dimasalahkan, bahkan minum bersama
diwajibkan untuk mendorong rukun komunitas.
Ajaran agama juga digunakan untuk memperkuat etika komunitas ini.
Sedangkan Semitic monoteisme (agama Yahudi, Kristen dan Islam) mengutamakan
Allah daripada komunitas, dan memisahkan seorang sebagai diri sendiri dari
komunitas. Jadi Pemerintahan Tokugawa melarang Kristen. Tentu saja agama Buddha
juga mengutamakan Kebenaran Darma daripada komunitas, tetapi ajaran sisi
seperti itu ditindas. Sementara Konfusianisme sengat cocok dengan etika demi
komunitas ini. Tetapi, orang Jepang tidak mengorbankan sendiri tanpa syarat
demi komunitas. Hal ini jelas terutama di dalam etos kerja orang Jepang.
Etos kerja seperti itulah yang membuat kepemimpinan perusahaan Jepang
yang besar membentuk 3 sistem :
1. Sistem
ketenagakerjaan sepanjang hidup, yakni perusahaan biasanya tidak putus hubungan
kerja.
2. Sistem
kenaikan gaji sejajar umur, yakni perusahaan menaikan gaji pekerjanya
tergantung umur mereka.
3. Serikat
pekerja yang diorganisasi menurut perusahaan, yakni, berbeda dengan pekerja
yang diorganisasi menurut jenis kerja, semua pekerja sebuah perusahaan, jenis
kerja apapun, diorganisasi satu serikat pekerja.
Oleh ketiga sistem ini, pekerja menganggap dirinya kuat sebagai anggota
perusahaannya dan merasa kesetiaan kepada perusahaannya. Di atas ketiga sistem
ini, etos kerja dan budaya kerja orang Jepang berkembang. Kenyataannya, ketiga
sistem ini dibentuk hanya di perusahaan besar, tidak ada di perusahaan kecil.
Tetapi ketiga sistem ini menjadi teladan bagi perusahaan kecil juga.
Ciri-ciri etos
kerja dan budaya kerja orang Jepang adalah :
1. Bekerja
untuk kesenangan, bukan untuk gaji saja. Tentu saja orang Jepang juga tidak
bekerja tanpa gaji atau dengan gaji yang rendah. Tetapi kalau gajinya lumayan,
orang Jepang bekerja untuk kesenangan. Jika ditanya “Seandainya anda menjadi
milyuner dan tidak usah bekerja, anda berhenti bekerja ?”, kebanyakan orang
Jepang menjawab, “Saya tidak berhenti, terus bekerja.” Bagi orang Jepang kerja
itu seperti permainan yang bermain bersama dengan kawan yang akrab. Biasanya di
Jepang kerja dilakukan oleh satu tim. Dia ingin berhasil dalam permainan ini,
dan ingin menaikkan kemampuan diri sendiri. Dan bagi dia kawan-kawan yang
saling mempercayai sangat penting. Karena permainan terlalu menarik, dia
kadang-kadang lupa pulang ke rumah. Fenomena ini disebut “work holic” oleh
orang asing.
2. Mendewakan
langganan. Memang melanggar ajaran Islam, etos kerja orang Jepang mendewakan
client/langganan sebagai Tuhan. “Okyaku sama ha kamisama desu.” (Langganan
adalah Tuhan.) Kata itu dikenal semua orang Jepang. Kata ini sudah motto bisnis
Jepang. Perusahaan Jepang berusaha mewujudkan permintaan dari langganan sedapat
mungkin, dan berusaha berkembangkan hubungan erat dan panjang dengan langganan.
3. Bisnis
adalah perang. Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis sebagai
perang yang melawan dengan perusahaan lain. Orang Jepang suka membaca buku
ajaran Sun Tzu, The Art of War untuk belajar strategis bisnis. Sun Tzu adalah
sebuah buku ilmu militer Tiongkok kuno, pada abad 4 sebelum masehi. Sun Tzu itu
suka dibaca oleh baik samurai dulu maupun orang bisnis sekarang. Untuk menang
perang, perlu strategis dan pandangan jangka panjang. Budaya bisnis Jepang
lebih mementingkan keuntungan jangka panjang. Supaya menang perang seharusnya
diadakan persiapan lengkap untuk bertempur setenaga kuat. Semua orang Jepang
tahu pribahasa “Hara ga hette ha ikusa ha dekinu.” (Kalau lapar tidak bisa
bertempur.) Oleh karena itu orang Jepang tidak akan pernah menerima kebiasaan
puasa. Bagi orang Jepang, untuk bekerja harus makan dan mempersiapkan kondisi
lengkap. Tentu saja di medang perang,
4. kedisiplinan
paling penting. Dalam buku Sun Tzu untuk mengajar kedisiplinan dilakukan cara
yang sangat kejam. Tetapi sekarang disiplin diajarkan di sekolah dasar.
Pendidikan di sekolah sangat penting. Masuk sekolah setiap hari tidak
terlambat, ikut pelajaran secara rajin, hal-hal itu dasar disiplin untuk kerja
di dunia bisinis. Pada setelah Restorasi Meiji, pendidikan disiplin di sekolah
dasar lebih berguna untuk berkembang kapitalisme daripada ajaran agama apapun.
Rahasia Bisnis Orang Jepang, oleh : Ann Wan
Seng
Belajar dari : Langkah
Raksasa Sang Nippon Mengusai Dunia
akkkkkhhhhiiiirrrrnnnyyyya bisa pertamak di blog ini
BalasHapushahahhaha
keep posting kawand....
blogmu sudah terpancang indah di blog ane dibagian
friendship makes me better...
semakin mbok update blogmu semakin terpajang diposisi teratas
keep blogging...
sip Gan..kan terus ber'eksplorasi
BalasHapus