Dari segi pemerintahan, sebelum terjadi perang negara Jepang telah
memiliki partai-partai politik yang mencerminkan kepemimpinan demokratis yang
dianutnya. Tapi ciri-ciri dan sifat-sifat kepemimpinan politik Jepang sesudah
perang sangat sulit untuk dinilai. Tradisi maupun praktek kehidupan Jepang
sedikit sekali menekankan pada “pemimpin-pemimpin” secara individual dan
“kepemimpinan” dibanding dengan kultur Barat. Kecenderungan ini diperkuat oleh
sifat multi-faksi dari kepemimpinan partai politiknya, dan besarnya peranan
komite dan teknik-teknik, konsensus lainnya dalam pembuatan keputusan.
Suatu penelitian tentang penunjukan dari pembentukan kabinet-kabinet
konservatif akhir-akhir ini akan menunjukkan pengaruh perang, kekalahan perang,
dan pendudukan Amerika terhadap sifat kepemimpinan politik Jepang sesudah
Perang Dunia II. Tokoh-tokoh militer dan wakil-wakil dari lingkungan istana dan
aristokrat yang begitu kuat berpengaruh dalam kabinet sebelum perang sekarang
tidak muncul lagi. Di antara kelompok elite sebelum perang, hanya politisi
partai, birokrat, dan wakil-wakil dunia usaha yang masih tetap memegang posisi.
Beban kekalahan perang, pembersihan yang didorong oleh Amerika atas unsur-unsur
militer dan ultra-nasionalis dari jabatan-jabatan pemerintahan, dan
diberlakukannya Konstitusi baru secara serempak telah menyingkirkan
pemimpin-pemimpin tradisional dari jabatannya; akibat kekosongan kepemimpinan
itu muncullah muka-muka baru di kalangan puncak partai-partai konservatif, yang
sebagian besar masih tetap berada di tempatnya sampai sekarang.
Sedangkan bila dilihat dari segi kebudayaannya, kepemimpinan Jepang
dikenal memiliki etos kerja yang sangat baik dalam memajukan negara atau
organisasi yang berada di dalamnya. Diambil dari sumber yang ditulis oleh Ahmad
Kurnia dari buku karya ANN WAN SENG, “RAHASIA BISNIS ORANG JEPANG (Langkah
Raksasa Sang Nippon Menguasai Dunia)” diceritakan setelah bom atom Amerika
menghunjam Hiroshima dan Nagasaki yang merupakan jantung kota Jepang tahun 1945,
semua pakar ekonomi saat itu memastikan Jepang akan segera mengalami
kebangkrutan. Namun, dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, Jepang ternyata
mampu bangkit dan bahkan menyaingi perekonomian negara yang menyerangnya.
Terbukti, pendapatan tahunan negara Jepang bersaing ketat di belakang Amerika
Serikat. Apalagi di bidang perteknologian, Jepang menjelma menjadi raksasa di
atas negara-negara besar dan berkuasa lainnya. Dengan segala kekurangan secara
fisik, tidak fasih berbahasa Inggris, kekurangan sumber tenaga kerja, dan
selalu terancam bencana alam rupanya tidak menghalangi mereka menjadi bangsa
yang dihormati dunia.
Dahulu Jepang bukanlah negara maju yang patut diperhitungkan dan ditakuti
di dunia. Tapi siapa yang menyangka bahwa setelah mengalami kehancuran yang
dahsyat pada Perang Dunia II dengan dijatuhkannya bom atom di kota Hiroshima
dan Nagasaki, Jepang mampu bertahan dan bahkan bangkit dengan kekuatan yang
sangat luar biasa menjadi suatu negara maju di kawasan Asia Timur, dan mampu
menempatkan negara dalam posisinya dalam jajaran negara-negara dengan
perekonomian terkuat di dunia. Hal ini dibuktikan pada pertengahan era 1990-an,
Product National Bruto (PNB) Jepang mencapai US$ 37,5 miliar atau 337,5 triliun
rupiah, yang sekaligus menempatkan Jepang pada posisi ke-2 setelah Swiss yang
memiliki PNB tertinggi di dunia. Selain itu Jepang merupakan negara yang tidak
memiliki utang luar negeri. Jepang dikenal sebagai negara yang mempunyai banyak
kekurangan antara lain dari segi fisik orang Jepang rata-rata berpostur kecil,
wilayah teritorial yang sempit, dari segi tata letak geografis negara Jepang
terletak di jalur lempeng pergeseran kerak bumi yang berpotensi rawan gempa
bumi, sumber daya alam yang terbatas, dan masih banyak kekurangan yang lain. Tapi
mengapa negara dengan banyak kekurangan ini mampu bertahan dan bangkit menjadi
negara maju didunia? Apa keajaiban yang terjadi?
Jepang adalah negara yang tidak memiliki hasil dan sumber daya alamnya
sendiri. Oleh karena itu, Jepang bergantung pada sumber-sumber dari negara
lain. Negara tersebut tidak hanya mengimpor minyak bumi, biji besi, batu arang,
kayu, dan sebagainya. Bahkan, hampir delapan puluh lima persen sumber tenaganya
berasal dari negara lain. Hasil pertanian Jepang adalah yang tertinggi di dunia.
Selain itu, Jepang juga mengimpor tiga puluh persen bahan makanan dari negara
lain untuk memenuhi konsumsi makanan penduduknya. Namun, di Jepang pertanian
masih menjadi sektor utama meskipun telah dikenal sebagai negara industri yang
maju. Dengan kondisi tersebut bagaimana atau apa yang menjadi rahasia sehingga
Jepang bisa menjadi penguasa ekonomi nomor satu didunia?
Mengapa negara Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, Singapura, dan Indonesia
tidak dapat menjadi seperti Jepang? Apakah karakter bangsa Jepang tidak
dimiliki bangsa lain? Padahal, berdasarkan ciri fisik dan keadaan geografis,
setengah negara tersebut yang lebih baik daripada Jepang. Beberapa penelitian
telah dilakukan untuk menjelaskan hal tersebut. Objek penelian adalah pada
sistem penggajian, etos dan budaya kerja orang Jepang. Pada dasarnya, etos dan
budaya kerja orang Jepang tidak jauh beda dengan bangsa Asia lainnya. Jika
mereka disebut pekerja keras, maka bangsa Cina, Korea dan bangsa Asia lainnya
juga pekerja keras. Namun, mengapa bangsa Jepang yang lebih berhasil dan maju
dibandingkan dengan bangsa Asia lainnya?
Dalam sistem pengelolaan organisasi bisa dibilang organisasi Jepang
berbeda dengan sistem pengelolaan organisasi yang dianut oleh bangsa maju
lainnya seperti Amerika. Perbedaan inilah yang membuat organisasi Jepang
menjadi unik tapi banyak dicontoh oleh negara-negara berkembang di dunia. Dalam
organisasi Jepang pengelola berawal dari posisi bawahan, oleh karena itu
pengelola organisasi Jepang lebih akrab dan memahami bawahannya. Sikap terus
terang mengurangi konflik antara pihak pengelola dan bawahan. Tim kerja
merupakan pondasi dasar dalam organisasi Jepang untuk membentuk interaksi
antara anggota tim dan bawahan. Fakta-fakta menarik yang yang dapat kita amati
dari sistem pengelolaan organisasi Jepang antara lain: bangsa Jepang lebih suka
mengaitkan diri mereka sebagai anggota organisasi dan perkumpulan tertentu jika
memperkenalkan diri daripada memperkenalkan diri berdasarkan asal negara dan
keturunannya. Mereka bangga jika dikaitkan dengan organisasi besar dan
berprestasi, tempat mereka bekerja. Kemauan bangsa Jepang menjadi hamba
organisasinya merupakan faktor kesuksesan negara itu menjadi penguasa besar
dalam bidang ekonomi dan industri. Sikap ini ditunjukkan dengan cara mengorbankan
pendapat pribadi, masa istirahat, gaji dan sebagainya untuk menjaga dan
mempertahankan kelangsungan organisasinya. Sikap ini berbeda dengan bangsa
barat yang memberikan ruang sebesar-besarnya kepada anggota organisasi untuk
berpendapat dn mengemukakan pandangan. Dalam sistem pengelolaan Jepang ini
individu tidak penting jika dibandingkan dengan perkumpulan dan organisasi.
Orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap
bayaran. Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat
dan menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan
mendapat keuntungan besar, secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang
setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka, hanya ada keinginan untuk melakukan
pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan. Pada
tahun 1960, rata-rata jam kerja pekerja Jepang adalah 2.450 jam/tahun. Pada
tahun 1992 jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun. Namun, jam kerja itu
masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja di negara lain,
misalnya Amerika (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870
jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun). Ukuran nilai dan status orang Jepang
didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskannya di tempat
kerja (hlm.70). Keadaan ini tentu sangat berbeda dengan budaya kerja orang
Indonesia yang biasanya selalu ingin pulang lebih cepat. Di Jepang, orang yang
pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai
pekerja yang tidak penting, malas dan tidak produktif. Bahkan istri-istri orang
Jepang lebih bangga bila suami mereka ”gila kerja” bukan ”kerja gila”. Sebab
hal itu juga menjadi pertanda suatu status sosial yang tinggi.
Keberhasilan Jepang mempertahankan statusnya sebagai “Bapak Naga Asia”
banyak dibantu oleh budaya kerja dan perdagangan rakyatnya. Agar produk mereka
mampu bersaing di dunia Internasional, Jepang tidak hanya memperbaiki dan
meningkatkan kualitas produknya, melainkan juga menciptakan berbagai barang
lain yang diperlukan konsumen baik ditingkat mikro maupun makro. Sehingga
perusahaan Jepang bersedia menghabiskan jutaan rupiah (sekitar 45 persen dari
anggaran belanjanya) untuk membiayai penelitian dan pengembangan dalam rangka
meningkatkan inovasi dan mutu produk. Selain itu mereka juga meletakkan
kepercayaan dan jaminan kualitas sebagai aset terpenting pemasaran dan
perdagangan. Tidak salah beberapa produknya menduduki posisi pertama dan
menjadi pilihan konsumen karena lebih ekonomis, bermutu, mudah digunakan dan
memiliki berbagai fungsi. Seperti Matsushita yang merupakan contoh terbaik
perusahaan yang berhasil memecahkan dominasi dan monopoli perusahaan Barat.
Begitu juga Walkman produk Sony yang menimbulkan fenomena luar biasa dikalangan
remaja pada era 1980-an. Produk itu juga mencetuskan revolusi baru dalam
perkembangan elektronik dan audio visual.
Sikap patriotisme bangsa Jepang juga menjadi salah satu faktor yang
membantu keberhasilan ekonomi negaranya. Bangsa Jepang bangga dengan produk buatan
negeri sendiri. Mereka juga menjadi pengguna utama produk lokal dan pada saat
yang sama juga mencoba mempromosikan produk made in Japan ke seluruh dunia dari
makanan, teknologi sampai tradisi dan budaya. Dimana saja mereka berada bangsa
Jepang selalu mempertahankan identitas dan jatidiri mereka.
Minat dan kecintaan bangsa Jepang terhadap ilmu membuat mereka
merendahkan diri untuk belajar dan memanfaatkan apa yang telah mereka pelajari.
Mereka menggunakan ilmu yang diperoleh untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan
produk Barat demi memenuhi kepentingan pasar dan konsumen. Bangsa Jepang memang
pintar meniru tetapi mereka memiliki daya inovasi yang tinggi. Pihak Barat
memakai proses logika, rasional dan kajian empiris untuk menghasilkan sebuah
inovasi. Namun bangsa Jepang melibatkan aspek emosi dan intuisi untuk
menghasilkan inovasi yang sesuai dengan selera pasar.
Untuk melancarkan urusan pekerjaanya, orang Jepang memegang teguh prinsip
tepat waktu dengan tertib dan disiplin, khususnya dalam sektor perindustrian
dan perdagangan. Kedua elemen itu menjadi dasar kemakmuran ekonomi yang dicapai
Jepang sampai saat ini. Seperti pahlawan dalam cerita rakyat Jepang, si samurai
buta Zatoichi, Jepang harus memastikan segala-galanya, termasuk rakyatnya,
senantiasa bergerak cepat menghadapi perubahan disekelilingnya. Jika semuanya
berhenti bergerak, maka ekonomi Jepang akan runtuh seperti Zatoichi yang luka
dan mati karena gagal mempertahankan diri dari serangan musuh. Karena ia tidak
bergerak dan hanya dalam keadaan statis.
jozz gandozz!!!
BalasHapus