Untuk itu, tidak ada alasan bagi Indonesia tidak bisa menjadi seperti
Jepang. Indonesia memiliki sumber alam melimpah dari pada Jepang, tenaga
manusia murah, infrastruktur yang baik, dan kedudukan geografis yang strategis.
Tergantung kemauan, komitmen dan langkah pasti pemerintah serta masyarakatnya
dalam mengaplikasikan formula ekonomi yang ampuh tersebut. Jika bangsa Jepang
bisa melakukannya, maka tidak ada alasan untuk kita gagal melaksanakannya.
Kekuasaan ada ditangan kita dan bukan terletak pada negara.
Namun sebelumnya, ada beberapa etos kerja dan budaya kerja bangsa Jepang
yang bisa kita ketahui :
●
Masyarakat Jepang tidak peduli pada agama.
Jika dibandingkan dengan masyarakat Indonesia, perbedaan yang paling
besar antara masyarakat Jepang dengan Indonesia adalah masyarakat Jepang tidak
peduli pada agama.
Dalam undang-undang dasar Jepang, pemerintah tidak boleh ikut campur
dalam urusan agama. Dilarang keras memakai anggaran negara untuk hal-hal agama.
Dalam pasal 20 tertulis bahwa semua lembaga agama tidak boleh diberi hak
istimewa dari negara dan tidak boleh melaksanakan kekuatan politik, negara dan
instansinya tidak boleh melakukan kegiatan agama dan pendidikan agama tertentu.
Dan dalam pasal 89 tertulis bahwa uang negara tidak boleh dipakai untuk lembaga
agama.
Maka di Jepang tidak ada ruangan untuk sembahyang seperti mushala di
instansi negara (termasuk sekolah), tidak ada Departmen Agama, tidak ada
sekolah agama negara (seperti IAIN di Indonesia).
Menurut beberapa penelitian, sekitar 70% orang Jepang menjawab tidak
memeluk agama. Terutama, pemuda Jepang sangat tidak peduli agama. Pada tahun
1996, mahasiswa Jepang yang mempercayai agama tertentu hanya 7.6%. Orang Jepang
tidak peduli orang lain agamanya apa, dan kalau dia mempercayai agama tertentu,
biasanya dia tidak suka memamerkan agamanya sendiri. Orang Jepang tidak ikut
campur urusan pribadi orang lain, dan masalah agama dianggap sebagai urusan
pribadi.
Di Jepang pernah ada Perdana Menteri yang memeluk agama Kristen, namanya
Ohira Masayoshi. Masa jabatannya dari tahun 1978 sampai 1980. Memang jumlah
orang Kristen cuma 1% dari penduduk Jepang, tapi sama sekali tidak menjadi
masalah dan sama sekali tidak mempengaruhi kebijakannya. Hal itu tidak
dikatakan karena toleransi pada agama, lebih tepat disebut karena
ketidakpedulian orang Jepang pada agama.
●
Etika orang Jepang tidak berdasar atas agama
Robert N Bellah, menerbitkan buku berjudul Tokugawa Religion: The
Cultural Roots of Modern Japan (1957) menganalisis kemajuan Jepang berdasar
teori Max Weber yaitu Die Protestantische Ethik und der “Geist” des
Kapitalismus (1905), menjelaskan peranan nilai agama pramodern itu dalam proses
modernisasi. Bellah mengatakan ajaran “Sekimon shingaku” (Ilmu moral oleh
ISHIDA Baigan) itu memerankan sebagai etos untuk modernisasi ekonomi. Selain
itu, ada yang menilai ajaran salah satu sekte Buddha Jepang Jodo Shinshu
sebagai etos seperti Protestan. Tentu saja ajaran-ajaran itu mementingkan kerja
keras, mirip dengan ajaran Puritanisme (memang Islam juga). Di Jepang
modernisasi di dalam bidang ekonomi dilakukan oleh pemerintah Meiji. Ideologi
pemerintah Jepang adalah Shinto versi negara. Jadi, teori Max Weber tidak bisa
diterapkan kepada Jepang. Di Jepang tidak ada agama yang mendorong proses
kapitalisme.
Jepang dipenuhi dengan porno, dilimpah dengan tempat judi, orang Jepang
suka sekali minum minuman keras. Tetapi pada umumnya orang Jepang masih
berdisiplin, bekerja keras, masyarakat Jepang sedikit korupsi, lebih makmur,
tertib, efisien, bersih dan aman (setidak-tidaknya tidak terjadi konflik antar
agama) daripada Indonesia. Bagi orang Jepang, porno, judi, minuman keras, semua
hanya sarana hiburan saja untuk menghilangkan stres. Kebanyakan orang Jepang
tidak sampai adiksi/kecanduan.
Kalau begitu, etika orang Jepang berdasar atas segala sesuatu yang
dianggap menguntungkan. Semua hal pasti di kerjakan, biarpun itu berbau porno
asalkan senang dan mendatangkan keuntungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Pendapatmu...