Penulis: Ali Imron Djaya
Sekretaris Eksekutif
Pesantren Institute Malang
Judul Buku :
RAHASIA BISNIS ORANG JEPANG (Langkah Raksasa Sang Nippon Menguasai Dunia)
Penulis : ANN WAN SENG
Penerbit : Hikmah ( PT Mizan Publika) Jakarta
Cetakan : I, April 2007
Tebal : 301 halaman
Siapa pun pasti
tidak menduga sebuah bangsa yang tidak berfisik besar dapat mengalahkan bangsa
Barat yang dikenal lebih maju dan beradab. Setelah bom atom Amerika menghujam
jantung kota Jepang tahun 1945, semua pakar ekonomi saat itu memastikan Jepang
akan segera mengalami kebangkrutan. Namun, dalam kurun waktu kurang dari 20
tahun, Jepang ternyata mampu bangkit dan bahkan menyaingi perekonomian negara
yang menyerangnya. Terbukti, pendapatan per kapita dan taraf hidup rakyatnya
yang menempati posisi kedua tertinggi di dunia. Pada pertengahan era 1990-an
saja, Produk Nasional Bruto (PNB) Jepang mencapai US$ 37,5 miliar. Angka
tersebut sekaligus menempatkan posisi Jepang di belakang Swiss yang memiliki
PNB tertinggi di dunia yang berjumlah US$ 113,7 miliar. Selain itu Jepang juga
tidak memiliki utang luar negeri.
Menurut mereka,
kekalahan dapat ditebus dengan kemenangan dan keberhasilan dalam bidang lain.
Bangsa Jepang tidak pernah menyerah dengan segala kekurangan dan kelemahan pada
diri mereka. Meskipun sumber alamnya minimal, terancam gempa bumi dan angin
topan, namun mereka menggunakan segala potensi yang ada untuk membangun negara
agar sebanding dengan negara yang kaya dengan sumber alam. Mereka pintar
menempatkan dan memanipulasi segala sumber yang ada sebaik mungkin. Bangsa
Jepang cepat dan tanggap bertindak dan tidak menunggu peluang datang, tetapi
mencari dan menciptakan sendiri peluang tersebut.
Kemampuan Jepang
bangkit dari kerusakan akibat perang dan kehancuran perekonomian dianggap
sebagai sebuah keajaiban. Meski demikian, keberhasilan yang dirasakan Jepang
tidak dicapai dalam waktu singkat. Sebenarnya, tidak ada satu keajaiban pun
yang membantu perkembangan dan kemajuan perekonomian Jepang. Semua diperoleh
dari hasil kesungguhan, disiplin ketat, usaha dan semangat kerja keras (spirit
Bushido) rakyatnya yang diwarisi secara turun-temurun. Disiplin bangsa Jepang
dikaitkan dengan harga diri (disiplin Samurai). Jika mengalami kegagalan, maka
bukan organisasi dan perusahaan yang menanggung malu, namun para pekerja yang
merasa malu dan kehilangan harga diri.
Pada dasarnya,
etos dan budaya kerja orang Jepang tidak jauh beda dengan bangsa Asia lainnya.
Jika mereka disebut pekerja keras, maka bangsa Cina, Korea dan bangsa Asia
lainnya juga pekerja keras. Namun, mengapa bangsa Jepang yang lebih berhasil
dan maju dibandingkan dengan bangsa Asia lainnya?
Orang Jepang
sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran. Mereka merasa
lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi
mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar,
secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran
dan jiwa mereka, hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin
dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan. Pada tahun 1960, rata-rata jam
kerja pekerja Jepang adalah 2.450 jam/tahun. Pada tahun 1992 jumlah itu menurun
menjadi 2.017 jam/tahun. Namun, jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan
dengan rata-rata jam kerja di negara lain, misalnya Amerika (1.957 jam/tahun),
Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680
jam/tahun). Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja
dan jumlah waktu yang dihabiskannya di tempat kerja (hlm.70). Keadaan ini tentu
sangat berbeda dengan budaya kerja orang Indonesia yang biasanya selalu ingin
pulang lebih cepat. Di Jepang, orang yang pulang kerja lebih cepat selalu
diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai pekerja yang tidak penting,
malas dan tidak produktif. Bahkan istri-istri orang Jepang lebih bangga bila
suami mereka ”gila kerja” bukan ”kerja gila”. Sebab hal itu juga menjadi
pertanda suatu status sosial yang tinggi.
Keberhasilan
Jepang mempertahankan statusnya sebagai “Bapak Naga Asia” banyak dibantu oleh
budaya kerja dan perdagangan rakyatnya. Agar produk mereka mampu bersaing di
dunia Internasional, Jepang tidak hanya memperbaiki dan meningkatkan kualitas
produknya, melainkan juga menciptakan berbagai barang lain yang diperlukan
konsumen baik ditingkat mikro maupun makro. Sehingga perusahaan Jepang bersedia
menghabiskan jutaan rupiah (sekitar 45 persen dari anggaran belanjanya) untuk
membiayai penelitian dan pengembangan dalam rangka meningkatkan inovasi dan
mutu produk. Selain itu mereka juga meletakkan kepercayaan dan jaminan kualitas
sebagai aset terpenting pemasaran dan perdagangan (hlm.152). Tidak salah
beberapa produknya menduduki posisi pertama dan menjadi pilihan konsumen karena
lebih ekonomis, bermutu, mudah digunakan dan memiliki berbagai fungsi. Seperti
Matsushita yang merupakan contoh terbaik perusahaan yang berhasil memecahkan
dominasi dan monopoli perusahaan Barat. Begitu juga Walkman produk Sony yang
menimbulkan fenomena luar biasa dikalangan remaja pada era 1980-an. Produk itu
juga mencetuskan revolusi baru dalam perkembangan elektronik dan Audio visual.
Sikap patriotisme
bangsa Jepang juga menjadi salah satu faktor yang membantu keberhasilan ekonomi
negaranya. Bangsa Jepang bangga dengan produk buatan negeri sendiri. Mereka
juga menjadi pengguna utama produk lokal dan pada saat yang sama juga mencoba
mempromosikan produk made in Japan ke seluruh dunia dari makanan, teknologi
sampai tradisi dan budaya. Dimana saja mereka berada bangsa Jepang selalu
mempertahankan identitas dan jatidiri mereka.
Minat dan kecintaan
bangsa Jepang terhadap ilmu membuat mereka merendahkan diri untuk belajar dan
memanfaatkan apa yang telah mereka pelajari. Mereka menggunakan ilmu yang
diperoleh untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan produk Barat demi memenuhi
kepentingan pasar dan konsumen. Bangsa Jepang memang pintar meniru tetapi
mereka memiliki daya inovasi yang tinggi. Pihak Barat memakai proses logika,
rasional dan kajian empiris untuk menghasilkan sebuah inovasi. Namun bangsa
Jepang melibatkan aspek emosi dan intuisi untuk menghasilkan inovasi yang
sesuai dengan selera pasar.
Untuk melancarkan
urusan pekerjaanya, orang Jepang memegang teguh prinsip tepat waktu dengan
tertib dan disiplin, khususnya dalam sektor perindustrian dan perdagangan.
Kedua elemen itu menjadi dasar kemakmuran ekonomi yang dicapai Jepang sampai
saat ini. Seperti pahlawan dalam cerita rakyat Jepang, si samurai buta
Zatoichi, Jepang harus memastikan segala-galanya, termasuk rakyatnya,
senantiasa bergerak cepat menghadapi perubahan disekelilingnya. Jika semuanya
berhenti bergerak, maka ekonomi Jepang akan runtuh seperti Zatoichi yang luka
dan mati karena gagal mempertahankan diri dari serangan musuh. Karena ia tidak
bergerak dan hanya dalam keadaan statis (hlm.292).
Untuk itu, tidak
ada alasan bagi Indonesia tidak bisa menjadi seperti Jepang. Indonesia memiliki
sumber alam melimpah dari pada Jepang, tenaga manusia murah, infrastruktur yang
baik, dan kedudukan geografis yang strategis. Tergantung kemauan, komitmen dan
langkah pasti pemerintah serta masyarakatnya dalam mengaplikasikan formula
ekonomi yang ampuh tersebut. Jika bangsa Jepang bisa melakukannya, maka tidak
ada alasan untuk kita gagal melaksanakannya. Kekuasaan ada ditangan kita dan
bukan terletak pada negara.
Buku terbitan
Malaysia karya Ann Wan Seng berjudul asli ”Rahsia Bisnes Orang Jepun (2006)”,
yang telah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia ini, menyingkap gaya hidup
dan kerja, semangat kerja, dan prinsip orang Jepang yang membuahkan hasil
mengagumkan di bidang perekonomian. Buku ini tidak hanya memberikan pembaca
teknik dan rahasia bisnis orang Jepang, tetapi amat bermanfaat, mencerahkan,
dan inspiratif khususnya bagi para pelaku bisnis, pejabat pemerintah serta
masyarakat umum agar mau berubah dan bekerja keras dalam membangun perekonomian
Indonesia menjadi lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Pendapatmu...